Mataram- Fenomena penahanan ijazah SMA-SMK di Nusa Tenggara Barat makin marak terjadi.
Laporan Ombudsman sepanjang tahun 2020-2021 menyebutkan ada 1.955 siswa SMA-SMK yang ditahan ijazahnya oleh pihak sekolah.
Bahkan di tahun 2022 Ombudsman mencatat ada 32 pelapor dari siswa SMA-SMK di NTB yang mengaku ditahan ijazahnya oleh pihak terkait.
Menanggapi fenomena itu Direktur Peduli Pendidikan Syahrul Ramadhan mencoba menginvestigasi penahanan ijazah tersebut.
Menurut Syahrul ia menemukan fakta bahwa masih ada siswa SMA-SMK di NTB yang ditahan ijazahnya dari 2022 sampai hari ini.
“Saya menemukan fakta beberapa dari mereka sampai hari ini masih ditahan ijazahnya gara-gara menunggak biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP),” ungkap Syahrul.
Syahrul mengatakan bentuk penahanan ijazahnya ini merupakan bukti kegagalan Pemerintahan Zul Rohmi dalam mengelola pendidikan menengah di NTB.
Ia menuturkan kebijakan BPP yang dikeluarkan Zul Rohmi melalui Pergub Nomor 44 Tahun 2018 menjadi pijakan sejumlah sekolah menahan ijazah siswa lantaran menunggak biaya tersebut.
“Simbol Zul-Rohmi sebagai Bapak Pendidikan dan Ibunya Warga NTB hanyalah omong kosong belaka,” tutur Syahrul.
Bagi Syahrul sebagai bapak dan ibu seharusnya memberikan kemudahan bukan malah menyusahkan anak-anaknya.
Selain itu Syahrul menyebut kebijakan penahanan ijazah tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Pemuda asal Dompu ini mengatakan seharusnya pemerintahan Zul Rohmi tidak melakukan penahanan ijazah siswa karena bertentangan dengan PP No 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Di mana pada pasal 52 menjelaskan bahwa pungutan dana yang bersumber dari masyarakat tidak dikaitkan dengan akademik.
“Siswa ini harusnya mendapatkan hak ijazahnya bukan malah ditahan,” tegas Syahrul.