Tahun ini adalah tahun menarik dimana helatan 5 tahunan di NTB kali pertama ada calon pemimpin perempuan, adapun tahun lalu pesan kampanyenya masih tetap sama yakni “Coblos Jilbab Ijo”.
Pertanyaannya ? Sudahkan efektif instrumen yang melekat pada wanita sudah digunakan 5 tahun lalu untuk tata kelola pemerintahan ? Terutama pada penurunan indeks ketimpangan Gender?
Buktinya tiap tahun indeks ketidak setaraan gender hanya mengalami penurunan yang mentok di angka 0,005 % dari tahun 2018 – 2022.
.
Tahun 2022 survey BPS menunjukkan penurunan indeks ketidaksetaraan gender hanya sebesar 0,005% saja. Artinya instrumen perempuan belum benar-benar di aktivasi oleh pemerintah. Mengingat NTB di 2018 nomor dua nya sudah perempuan, harusnya peningkatannya bisa signifikan.
Nyatanya :
– tahun 2022 proporsi wanita kawin usia 15 sampai 49 tahun yang melahirkan dibawah 20 tahun mencapai 0,304%
– tahun 2022 proporsi wanita usia 15-49 yang melahirkan tanpa fasilitas kesehatan ada sebanyak 0,305%
– Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya mentok di angka 59,19% dibandingkan laki-laki yang sudah 83,27%
Jika dibandingkan dengan Jawa Barat 2018-2024 yang notabene dipimpin oleh pemimpin laki-laki, jawa barat justru lebih luwes dalam menggunakan instrumen perempuan. Di jawa barat ada namanya sekolah politik perempuan, di NTB sekolah perempuan hanya difokuskan pada hal-hal domestik dan pemberdayaan. Kenapa tidak ibu-ibu pkk di ajari oleh orang nomor 2 langsung di NTB Soal kebijakan publik? Tidak perlu terlalu advance juga yang penting mereka mengerti soal bagaimana dunia kebijakan itu esensial bagi perempuan. Diluar itu industrialisasi yang dibangun di NTB masih sangat maskulin, karena yang dibahas masih di lingkup tambang saja. Kita belum melihat ada 5 tahun kebelakang industri berbasis pertanian semacam pabrik-pabrik kopi di buka dan karyawannya perempuan.
Mari kembali pada pertanyaan, benarkah politik Jilbab ijo revolusioner? Jawabannya kembali pada akal sehat masing-masing pembaca.