Bagaimana caranya mengukur kebenaran atau keakuratan sebuah survei?
Survei sebenarnya penelitian ilmiah yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Asalkan sang peneliti mengerti tentang metodologi dan statistik, maka siapa saja dapat melakukan survei dengan hasil yang meyakinkan.
Menurut kang Jalal, pakar komunikasi yang kesohor itu, salah satu kesalahan berfikir yaitu “Argumentum ad Verecundiam”, menyandarkan kebenaran pada otoritas. Saat dia dianggap memiliki otoritas maka semua yang berasal dari dirinya menjadi benar.
Nah terkait dengan survei ini, terkadang sebagai an kelompok “awam survei” kebingungan dalam menetapkan standar kebenaran survei, tanpa memeriksa proses ilmiahnya, kebenaran datanya, kebenaran tafsir atas data, dan sebagainya. Kelompok “awam survei” ini hanya menyandarkan nilai kebenaran pada “otoritas lembaga”nya.
Padahal terkadang, banyak lembaga dengan otoritas yang panjang, menghasilkan survei yang berbeda-beda hasilnya. Ada yang mengunggulkan si A, si B dan si C. Tapi namanya kelompok “awam survei”, ya begitulah. Apalagi kelompok awam ini terikat dengan calon atau timses tertentu; bertambahlah atribut pada dirinya, bukan sekedar “awam survei”, tapi bisa juga menjadi “kaum fanatik” yang juga bisa menjelma menjadi kelompok bigot (keras kepala dan potensial menjadi perusuh).
Jadi saran saya, jika bertemu dengan banyak data survei yang berbeda-beda. Tenang dan damailah. Kiamat belum datang. Jangan menggabungkan keawaman anda dengan kefanatikan anda, agar tidak terjebak menjadi bigot.
Saya ingin memandu anda utk menggunakan sejumlah parameter untuk mengukur sebuah survei.
Pertama, kredibilitas lembaga atau tokoh. Tentu saja kredibilitas yang terbangun dari sebuah rekam jejak penelitian bisa menjadi dalil pertama untuk menilai sebuah survei. Lembaga dengan rekam jejak panjang bisa menjadi salah satu unsur tertentu untuk menilainya. Tapi kredibilitas bukan satu-satunya pegangan lho. Pilpres 2024 menunjukkan beberapa lembaga yang punya reputasi puluhan tahun, akhirnya sementara “puasa publikasi” survei Pilpres, pasca hasilnya yang banyak berbeda dari jumhur lembaga survei pada waktu itu.
Kedua, kebenaran sebuah hasil survei. Tentunya survei yang dipresentasikan atau dipublikasikan secara terbuka tidak bisa dibandingkan dengan capture atau potongan foto yang beredar sepotong-sepotong, apalagi jika fotonya terindikasi di crop atau diedit terlebih dahulu, walaupun capture itu “katanya” dari lembaga yang punya kredibilitas.
Ketika seseorang atau sebuah lembaga sudah mempublikasikan hasilnya, artinya mereka sudah siap mempertanggungjawabkan datanya secara ilmiah. Mereka siap untuk didebat metodologi dan hasilnya. Bandingkan lah dengan capture sepotong-potong hasil survei, yang mungkin diedit oleh seorang timses menggunakan hape nya. Capture itu bisa jadi hoaks, tidak pernah dikeluarkan oleh lembaga survei nya.
Yang berbahaya jika capture ini dipegang oleh kelompok fanatik calon. Jadi berbusa-busa dia membela editan foto nya, padahal editan fotonya bohongan.
Ya, kita perlu mengasihani orang-orang semacam ini.
Ketiga, memperkarakan materi surveinya. Jika sedikit lebih pintar, kita bisa menguji validasinya dengan beberapa teknik. Tapi untuk tulisan kali ini saya cukupkan saja sekian. Kalo saya jelaskan teknik validasinya, khawatir kaum fanatiknya pusing baca tulisan ini. ☺️